Karbon merupakan unsur kimia yang mempunyai simbol C dan nomor atom 6 pada tabel periodik. Unsur ini termasuk dalam golongan non-logam dan memiliki valensi 4, yang berarti ada 4 elektron yang membentuk ikatan kovalen.
Karbon sendiri merupakan salah satu unsur yang telah diketahui keberadaannya sejak zaman kuno, dan dapat dikatakan sebagai unsur dasar segala kehidupan di bumi. Bahkan, 20% dari tubuh manusia terdiri dari karbon.
Namun, karbon dalam tubuh manusia maupun makhluk hidup lainnya tidak berada dalam bentuk unsur karbon, melainkan senyawa atau telah bergabung dengan unsur lain, seperti hidrogen dan oksigen.
Meski banyak sekali jenis senyawa yang terbentuk dari karbon, karbon jarang sekali bereaksi di bawah kondisi normal (temperatur dan tekanan standar). Karbon tahan terhadap hampir semua oksidator, kecuali oksidator yang sangat kuat.
Semua makhluk hidup akan mengeluarkan ‘karbon’ khususnya dalam bentuk senyawa karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida salah satunya dikeluarkan tiap makhluk hidup dari proses pernafasan. Kita menghirup oksigen (O2) dan mengeluarkan karbon dioksida (CO2).
Apakah oksigen akan habis jika kita hanya menghirupnya dan tidak memproduksi oksigen?
Sederhananya, CO2 akan diserap oleh tumbuh-tumbuhan dan melalui proses fotosintesis, oksigen akan kembali dihasilkan ke udara. Namun, laju produksi CO2 jauh lebih cepat daripada produksi O2. Dengan adanya industri, kemajuan teknologi, dan pertumbuhan populasi, kadar karbon dioksida di bumi meningkat pesat. Sementara itu, lahan-lahan hijau semakin sempit.
Dalam konteks lingkungan, karbon yang dimaksud akan merusak adalah gas-gas emisi yang memiliki kandungan karbon dioksida tinggi. Gas-gas ini dihasilkan dari pembakaran senyawa yang mengandung karbon. Misalnya, asap dari pembakaran bensin, solar, kayu, daun, gas LPG, dan bahan bakar lain yang mengandung hidrokarbon.
Emisi karbon menjadi salah satu kontributor terbesar dalam perubahan iklim global yang berdampak buruk pada lingkungan dan kelangsungan hidup manusia.
Tingginya kadar karbon dioksida, terutama emisi karbon yang dihasilkan oleh industri dan aktivitas manusia, telah memberikan sejumlah dampak signifikan terhadap lingkungan. Kandungan karbon dioksida dalam emisi yang terperangkap di atmosfer menyebabkan peningkatan suhu bumi. Berikut ini beberapa dampak dari peningkatan suhu bumi akibat emisi karbon.
Panasnya suhu bumi akan menyebabkan lapisan es di kutub mencair. UNDP menyatakan bahwa lapisan es di laut Artik telah berkurang jauh sejak tahun 1979, dengan kecepatan sebesar 1.07 juta km2 setiap dekade. Mencairnya es di kutub menyebabkan kenaikan permukaan air laut.
Peningkatan suhu bumi mengakibatkan perubahan iklim (menjadi lebih panas). Perubahan iklim drastis ini dapat mengurangi sumber air bersih, sebab permukaan air laut naik dan terjadi kekeringan di daratan.
Perubahan iklim akan menyebabkan cuaca ekstrim, yang dapat berujung pada bencana alam. Banjir, angin topan, dan tsunami adalah beberapa dampak destruktif dari perubahan iklim tersebut. FAO (Food & Agriculture Organization) melaporkan bahwa saat ini jumlah bencana alam terjadi 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan tahun 1970-an dan 1980-an.
Sektor pertanian menyerap sekitar 63% dari dampak bencana alam, menurut FAO, dibandingkan dengan sektor-sektor lain, seperti pariwisata, perdagangan, dan industri. Hal ini tentu mengganggu sumber pangan manusia. Pasalnya, banyaknya jumlah tanaman produksi yang rusak akibat cuaca tak menentu akan mengurangi jumlah pasokan bahan pangan.
Kenaikan suhu bumi memperluas wilayah tropis di bumi. Perluasan ini pun akan turut mempermudah penyebaran penyakit-penyakit tropis ke wilayah sub-tropis, seperti malaria.
Laut dapat menyerap emisi karbon dioksida hingga 40 persen. Namun, semakin tinggi kadar CO2 yang diserap oleh laut, kondisi laut pun akan semakin asam. Tingginya kadar keasaman dan peningkatan suhu air laut akan merusak terumbu karang atau coral bleaching.
Perlu diingat bahwa terumbu karang memegang peranan penting dalam ekosistem laut, yaitu sebagai sarang bagi ikan-ikan kecil dan plankton. Minimnya jumlah ikan kecil dan plankton tentu akan mengganggu rantai makanan bagi makhluk hidup laut lainnya.
Urgensi penanganan masalah iklim akibat emisi karbon semakin mendesak. Tidak hanya masyarakat, pemerintah dan swasta raksasa pun perlu mencanangkan komitmen global untuk permasalahan ini.
Pada 12 Desember 2015, sebanyak 195 negara termasuk Indonesia, menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian ini sepenuhnya bersifat sukarela, di mana semua negara yang menyepakatinya berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2˚C (3.6˚F); menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5˚C (2.7˚F). Perjanjian Paris mulai berlaku efektif pada 4 November 2016.
Melanjutkan kesepakatan tersebut, skema-skema perdagangan karbon global pun dilaksanakan untuk menjaga jumlah emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer. Terkait pengawasan emisi karbon, perdagangan karbon umumnya dilakukan melalui bursa komoditi dengan standar satuan tertentu.
“Karbon” yang dimaksud dalam perdagangan karbon di bursa adalah kredit karbon. Secara sederhana, kredit karbon merepresentasikan ‘hak’ menghasilkan karbon. Kredit ini dihasilkan oleh proyek-proyek penghijauan dengan metode perhitungan potensi penyerapan karbon yang telah diakui secara global.
Sementara itu, usaha maupun instansi yang menghasilkan emisi karbon lebih dari kredit (atau ‘hak’) yang dimiliki, dapat membeli kredit karbon yang dijual di pasar karbon. Dengan demikian, kita dapat mengontrol sekaligus menyeimbangkan jumlah emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer bumi dan menjaga kenaikan suhu global di bawah 1.5˚C.